Selasa, 15 Maret 2011

Perbandingan antara Perundingan, Arbitrase dan Ligitasi

a. Negosiasi atau perundingan
Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa dimana para pihak yang bersengketa saling melakukan kompromi untuk menyuarakan kepentingannya. Dengan cara kompromi tersebut diharapkan akan tercipta win-win solution dan akan mengakhiri sengketa tersebut secara baik.

b. Litigasi adalah sistem penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan. Sengketa yang terjadi dan diperiksa melalui jalur litigasi akan diperiksa dan diputus oleh hakim. Melalui sistem ini tidak mungkin akan dicapai sebuah win-win solution (solusi yang memperhatikan kedua belah pihak) karena hakim harus menjatuhkan putusan dimana salah satu pihak akan menjadi pihak yang menang dan pihak lain menjadi pihak yang kalah. Kebaikan dari sistem ini adalah:
1. Ruang lingkup pemeriksaannya yang lebih luas (karena sistem peradilan di Indonesia terbagi menjadi beberapa bagian yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan Tata Usaha Negara sehingga hampir semua jenis sengketa dapat diperiksa melalui jalur ini)
2. Biaya yang relatif lebih murah (Salah satu azas peradilan Indonesia adalah Sederhana, Cepat dan Murah)
Sedangkan kelemahan dari sistem ini adalah:
1. Kurangnya kepastian hukum (karena terdapat hierarki pengadilan di Indonesia yaitu Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung dimana jika Pengadilan Negeri memberikan putusan yang tidak memuaskan salah satu pihak, pihak tersebut dapat melakukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi atau kasasi ke Mahkamah Agung sehingga butuh waktu yang relatif lama agar bisa berkekuatan hukum tetap)
2. Hakim yang "awam" (pada dasarnya hakim harus paham terhadap semua jenis hukum. namun jika sengketa yang terjadi terjadi pada bidang yang tidak dikuasai oleh hakim, maka hakim tersebut harus belajar lagi. Hal ini dikarenakan para pihak tidak bisa memilih hakim yang akan memeriksa perkara. Tentunya hal ini akan mempersulit penyusunan putusan yang adil sesuai dengan bidang sengketa. Hakim juga tidak boleh menolak untuk memeriksa suatu perkara karena hukumnya tidak ada atau tidak jelas. Jadi tidak boleh ada hakim yang menolak perkara. apalagi hanya karena dia tidak menguasai bidang sengketa tersebut.)
Berdasarkan konsekuensi bahwa putusan hakim akan memenangkan salah satu pihak dan mengalahkan pihak yang lain, maka berdasarkan hukum acara perdata di Indonesia Hakim wajib memerintahkan para pihak untuk melaksanakan mediasi (nanti akan dibahas lebih lanjut) untuk mendamaikan para pihak. Jika tidak dicapai perdamaian maka pemeriksaan perkara akan dilanjutkan. Meskipun pemeriksaan perkara dilanjutkan kesempatan untuk melakukan perdamaian bagi para pihak tetap terbuka (dan hakim harus tetap memberikannya meskipun putusan telah disusun dan siap untuk dibacakan). Jika para pihak sepakat untuk berdamai, hakim membuat akta perdamaian (acte van daading) yang pada intinya berisi para pihak harus menaati akta perdamaian tersebut dan tidak dapat mengajukan lagi perkara tersebut ke pengadilan. Jika perkara yang sama tersebut tetap diajukan ke pengadilan maka perkara tersebut akan ditolak dengan alasan ne bis in idem (perkara yang sama tidak boleh diperkarakan 2 kali) karena akta perdamaian tersebut berkekuatan sama dengan putusan yang final dan mengikat (tidak dapat diajukan upaya hukum).

c.Arbitrase
Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa yang mirip dengan litigasi, hanya saja litigasi ini bisa dikatakan sebagai "litigasi swasta" Dimana yang memeriksa perkara tersebut bukanlah hakim tetapi seorang arbiter. Untuk dapat menempuh prosesi arbitrase hal pokok yang harus ada adalah "klausula arbitrase" di dalam perjanjian yang dibuat sebelum timbul sengketa akibat perjanjian tersebut, atau "Perjanjian Arbitrase" dalam hal sengketa tersebut sudah timbul namun tidak ada klausula arbitrase dalam perjanjian sebelumnya. Klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase tersebut berisi bahwa para pihak akan menyelesaikan sengketa melalui arbitrase sehingga menggugurkan kewajiban pengadilan untuk memeriksa perkara tersebut. Jika perkara tersebut tetap diajukan ke Pengadilan maka pengadilan wajib menolak karena perkara tersebut sudah berada di luar kompetensi pengadilan tersebut akibat adanya klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase. Beberapa keunggulan arbitrase dibandingkan litigasi antara lain:
1. Arbitrase relatif lebih terpercaya karena Arbiter dipilih oleh para pihak yang bersengketa. Arbiter dipilih oleh para pihak sendiri dan merupakan jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh pejabat peradilan manapun. Dalam hal para pihak tidak bersepakat dalam menentukan arbiter maka arbiter akan ditunjuk oleh ketua Pengadilan Negeri. Hal ini berbeda dengan litigasi karena para pihak tidak dapat memilih hakim yang memeriksa perkara. Calon arbiter yang ditunjuk juga boleh menolak penunjukan tersebut.
2. Arbiter merupakan orang yang ahli di bidangnya sehingga putusan yang dihasilkan akan lebih cermat. Dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dinyatakan bahwa salah satu syarat untuk menjadi arbiter adalah berpengalaman aktif di bidangnya selama 15 tahun. Hal ini tentunya berbeda dengan hakim yang mungkin saja tidak menguasai bidang yang disengketakan sehingga harus belajar bidang tersebut sebelum memeriksa perkara.
3. Kepastian Hukum lebih terjamin karena putusan arbitrase bersifat final dan mengikat para pihak. Pihak yang tidak puas dengan putusan arbitrase tidak dapat mengajukan upaya hukum. namun putusan tersebut dapat dibatalkan jika terjadi hal-hal tertentu seperti dinyatakan palsunya bukti-bukti yang dipakai dalam pemeriksaan setelah putusan tersebut dijatuhkan atau putusan tersebut dibuat dengan itikad tidak baik dari arbiter.
Sedangkan kelemahannya antara lain:
1. Biaya yang relatif mahal karena honorarium arbiter juga harus ditanggung para pihak (atau pihak yang kalah)
2. Putusan Arbitrase tidak mempunyai kekuatan eksekutorial sebelum didaftarkan ke Pengadilan Negeri.
3. Ruang lingkup arbitrase yang terbatas hanya pada sengketa bidang komersial (perdagangan, ekspor-impor, pasar modal, dan sebagainya)

Arbitrase

Hukum internasional telah mengenal arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa, dan cara ini telah diterima oleh umum sebagai cara penyelesaian sengketa yang efektif dan adil. Para pihak yang ingin bersengketa dengan menggunakan metode arbitrase dapat menggunakan badan arbitrase yang telah terlembaga, atau badan arbitrase ad hoc. Meskipun dianggap sebagai penyelesaian sengketa internaisonal melalu jalur hukum, keputusan yang dihasilkan oleh badan arbitrase tidak dapat sepenuhnya dijamin akan mengikat masing-masing pihak, meskipun sifat putusan arbitrase pada prinsipnya adalah final dan mengikat.

Pada saat ini, terdapat sebuah badan arbitrase internasional yang terlembaga, yaitu Permanent Court of Arbitration (PCA). Dalam menjalankan tugasnya sebagai jalur penyelesaian sengketa, PCA menggunakan UNCITRAL Arbitration Rules 1976.

Mediasi

Ketika negara-negara yang menjadi para pihak dalam suatu sengketa internasional tidak dapat menemukan pemecahan masalahnya melalui negosiasi, intervensi yang dilakukan oleh pihak ketiga adalah sebuah cara yang mungkin untuk keluar dari jalan buntu perundingan yang telah terjadi dan memberikan solusi yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Pihak ketiga yang melaksanakan mediasi ini tentu saja harus bersifat netral dan independen. Sehingga dapat memberikan saran yang tidak memihak salah satu negara pihak sengketa.

Intervensi yang dilakukan oleh pihak ketiga ini dapat dilakukan dalam beberapa bentuk. Misalnya, pihak ketiga memberikan saran kepada kedua belah pihak untuk melakukan negosiasi ulang, atau bisa saja pihak ketiga hanya menyediakan jalur komunikasi tambahan.

Dalam menjalankan tugasnya, mediator tidak terikat pada suatu hukum acara tertentu dan tidak dibatasi pada hukum yang ada. Mediator dapat menggunakan asas ex aequo et bono untuk menyelesaikan sengketa yang ada.

Pelaksanaan mediasi dalam penyelesaian sengketa internasional diatur dalam beberapa perjanjian internasional, antara lain The Hague Convention 1907; UN Charter; The European Convention for the Peaceful Settlement of Disputes.

Negosiasi

Negosiasi merupakan cara penyelesaian sengketa secara damai yang cukup lama dipakai. Sampai pada permulaan abad ke-20, negosiasi menjadi satu-satunya cara yang dipakai dalam penyelesaian sengketa. Sampai saat ini cara penyelesaian melalui negosiasi biasanya adalah cara yang pertama kali ditempuh oleh para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa ini dilakukan secara langsung oleh para pihak yang bersengketa melalui dialog tanpa ada keikutsertaan dari pihak ketiga. Dalam pelaksanaannya, negosiasi memiliki dua bentuk utama, yaitu bilateral dan multilateral. Negosiasi dapat dilangsungkan melalui saluran diplomatik pada konferensi internasional atau dalam suatu lembaga atau organisasi internasional.

Dalam praktek negosiasi, ada dua bentuk prosedur yang dibedakan. Yang pertama adalah negosiasi ketika sengketa belum muncul, lebih dikenal dengan konsultasi. Dan yang kedua adalah negosiasi ketika sengketa telah lahir.

Keuntungan yang diperoleh ketika negara yang bersengketa menggunakan mekanisme negosiasi, antara lain :
(1) Para pihak memiliki kebebasan untuk menentukan penyelesaian sesuai dengan kesepakatan diantara mereka
(2) Para pihak mengawasi dan memantau secara langsung prosedur penyelesaiannya
(3) Dapat menghindari perhatian publik dan tekanan politik dalam negeri.
(4) Para pihak mencari penyelesaian yang bersifat win-win solution, sehingga dapat diterima dan memuaskan kedua belah pihak

Cara-Cara Penyelesaian Sengketa Ekonomi

Seiring dengan perkembangan yang terjadi, muncul kemudian beberapa perjanjian internasional, baik secara khusus mengatur maupun memuat beberapa tentang penyelesaian sengketa. Perjanjian-perjanjian tersebut dibuat oleh negara-negara, baik secara multilateral ataupun melalui lembaga intergovernmental, diantaranya :

1. The Convention for the Pacific Covenant of the League of Nations 1919
2. The Statute of the Permanent Court of International Justice 1921
3. The General Treaty for the Renunciation of War 1928
4. The General Act for the Pacific Settlement of International Disputes 1928
5. Piagam PBB dan Statuta Mahkamah Internasional 1945
6. Deklarasi Bandung 1955
7. The Manila Declaration on Peaceful Settlement of Disputes between States 1982.

Kelahiran League of Nations (LBB) yang menjadi lembaga intergovernmental pasca terjadinya Perang Dunia I (PD I), tidak mampu mencegah terjadinya penyelesaian sengketa dengan kekerasan antar negara. Karena LBB terbukti tidak dapat melakukan tindakan preventif untuk mencegah terjadinya Perang Dunia II (PD II). Dari kondisi seperti itulah, negara-negara yang terlibat dalam PD II kemudian membentuk United Nations (PBB) sebagai pengganti dari LBB. Kelahiran PBB diharapkan dapat mencegah terjadinya hal serupa PD I dan II.

Dalam praktek hubungan antar negara pada saat ini, PBB telah menjadi organisasi intergovernmental yang besar. Dengan keanggotaan sebanyak itu, UN Charter (Piagam) telah dijadikan sebagai rujukan utama oleh banyak negara untuk menyelesaikan sengketa dengan damai. Pencantuman penyelesaian sengketa secara damai di dalam Piagam, memang mutlak diperlukan. Selain karena PBB bertujuan untuk menjaga kedamaian dan keamanan internasional, negara-negara anggota PBB membutuhkan panduan dalam melaksanakan tujuan PBB tersebut.

II. Penyelesaian Sengketa dalam Piagam PBB
Tujuan dibentuknya PBB, yaitu menjaga kedamaian dan keamanan internasional tercantum di dalam pasal 1 Piagam, yang berbunyi :

“To maintain international peace and security, and to that end: to take effective collective measures for the prevention and removal of threats to the peace, and for the suppression of acts of aggression or other breaches of the peace, and to bring about by peaceful means, and in conformity with the principles of justice and international law, adjustment or settlement of international disputes or situations which might lead to a breach of the peace”

Kedamaian dan keamanan internasional hanya dapat diwujudkan apabila tidak ada kekerasan yang digunakan dalam menyelesaikan sengketa, yang ditegaskan dalam pasal 2 ayat (4) Piagam. Penyelesaian sengketa secara damai ini, kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 33 Piagam yang mencantumkan beberapa cara damai dalam menyelesaikan sengketa, diantaranya :

a. Negosiasi;
b. Enquiry atau penyelidikan;
c. Mediasi;
d. Konsiliasi
e. Arbitrase
f. Judicial Settlement atau Pengadilan;
g. Organisasi-organisasi atau Badan-badan Regional.

Dari tujuh penyelesaian sengketa yang tercantum dalam Piagam, dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu penyelesaian sengketa secara hukum dan secara politik/diplomatik. Yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa secara hukum adalah arbitrase dan judicial settlement. Sedangkan yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa secara diplomatik adalah negosiasi; enquiry; mediasi; dan konsiliasi. Hukum internasional publik juga mengenal good offices atau jasa-jasa baik yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa secara diplomatik.

Pada dasarnya, tidak ada tata urutan yang mutlak mengenai penyelesaian sengketa secara damai. Para pihak dalam sengketa internasional dapat saja menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara mereka ke badan peradilan internasional seperti International Court of Justice (ICJ/Mahkamah Internasional), tanpa harus melalui mekanisme negosiasi, mediasi, ataupun cara diplomatik lainnya. PBB tidak memaksakan prosedur apapun kepada negara anggotanya. Dengan kebebasan dalam memilih prosedur penyelesaian sengketa, negara-negara biasanya memilih untuk memberikan prioritas pada prosedur penyelesaian secara politik/diplomatik, daripada mekanisme arbitrase atau badan peradilan tertentu, karena penyelesaian secara politik/diplomatik akan lebih melindungi kedaulatan mereka.

III. Penyelesaian Sengketa secara Diplomatik
Seperti yang telah dijelaskan di atas, yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa secara diplomatik adalah negosiasi; enquiry atau penyelidikan; mediasi; konsiliasi; dan good offices atau jasa-jasa baik. Kelima metode tersebut memiliki ciri khas, kelebihan, dan kekurangan masing-masing.

a) Negosiasi
Negosiasi merupakan cara penyelesaian sengketa secara damai yang cukup lama dipakai. Sampai pada permulaan abad ke-20, negosiasi menjadi satu-satunya cara yang dipakai dalam penyelesaian sengketa. Sampai saat ini cara penyelesaian melalui negosiasi biasanya adalah cara yang pertama kali ditempuh oleh para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa ini dilakukan secara langsung oleh para pihak yang bersengketa melalui dialog tanpa ada keikutsertaan dari pihak ketiga. Dalam pelaksanaannya, negosiasi memiliki dua bentuk utama, yaitu bilateral dan multilateral. Negosiasi dapat dilangsungkan melalui saluran diplomatik pada konferensi internasional atau dalam suatu lembaga atau organisasi internasional.

Dalam praktek negosiasi, ada dua bentuk prosedur yang dibedakan. Yang pertama adalah negosiasi ketika sengketa belum muncul, lebih dikenal dengan konsultasi. Dan yang kedua adalah negosiasi ketika sengketa telah lahir.

Keuntungan yang diperoleh ketika negara yang bersengketa menggunakan mekanisme negosiasi, antara lain :

(1) Para pihak memiliki kebebasan untuk menentukan penyelesaian sesuai dengan kesepakatan diantara mereka
(2) Para pihak mengawasi dan memantau secara langsung prosedur penyelesaiannya
(3) Dapat menghindari perhatian publik dan tekanan politik dalam negeri.
(4) Para pihak mencari penyelesaian yang bersifat win-win solution, sehingga dapat diterima dan memuaskan kedua belah pihak

b) Enquiry atau Penyelidikan
J.G.Merrills menyatakan bahwa salah satu penyebab munculnya sengketa antar negara adalah karena adanya ketidaksepakatan para pihak mengenai fakta. Untuk menyelesaikan sengketa ini, akan bergantung pada penguraian fakta-fakta para pihak yang tidak disepakati. Untuk menyelesaikan sengketa tersebut, para pihak kemudian membentuk sebuah badan yang bertugas untuk menyelidiki fakta-fakta yang terjadi di lapangan. Fakta-fakta yang ditemukan ini kemudian dilaporakan kepada para pihak, sehingga para pihak dapat menyelesaikan sengketa diantara mereka.

Dalam beberapa kasus, badan yang bertugas untuk menyelidiki fakta-fakta dalam sengketa internasional dibuat oleh PBB. Namun dalam konteks ini, enquiry yang dimaksud adalah sebuah badan yang dibentuk oleh negara yang bersengketa. Enquiry telah dikenal sebagai salah satu cara untuk menyelesaikan sengketa internasional semenjak lahirnya The Hague Convention pada tahun 1899, yang kemudian diteruskan pada tahun 1907.

c) Mediasi
Ketika negara-negara yang menjadi para pihak dalam suatu sengketa internasional tidak dapat menemukan pemecahan masalahnya melalui negosiasi, intervensi yang dilakukan oleh pihak ketiga adalah sebuah cara yang mungkin untuk keluar dari jalan buntu perundingan yang telah terjadi dan memberikan solusi yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Pihak ketiga yang melaksanakan mediasi ini tentu saja harus bersifat netral dan independen. Sehingga dapat memberikan saran yang tidak memihak salah satu negara pihak sengketa.

Intervensi yang dilakukan oleh pihak ketiga ini dapat dilakukan dalam beberapa bentuk. Misalnya, pihak ketiga memberikan saran kepada kedua belah pihak untuk melakukan negosiasi ulang, atau bisa saja pihak ketiga hanya menyediakan jalur komunikasi tambahan.

Dalam menjalankan tugasnya, mediator tidak terikat pada suatu hukum acara tertentu dan tidak dibatasi pada hukum yang ada. Mediator dapat menggunakan asas ex aequo et bono untuk menyelesaikan sengketa yang ada.

Pelaksanaan mediasi dalam penyelesaian sengketa internasional diatur dalam beberapa perjanjian internasional, antara lain The Hague Convention 1907; UN Charter; The European Convention for the Peaceful Settlement of Disputes.

d) Konsiliasi
Sama seperti mediasi, penyelesaian sengketa melalui cara konsiliasi menggunakan intervensi pihak ketiga. Pihak ketiga yang melakukan intervensi ini biasanya adalah negara, namun bisa juga sebuah komisi yang dibentuk oleh para pihak. Komisi konsiliasi yang dibentuk oleh para pihak dapat saja terlembaga atau bersifat ad hoc, yang kemudian memberikan persyaratan penyelesaian yang diterima oleh para pihak. Namun keputusan yang diberikan oleh komisi konsiliasi ini tidak mengikat para pihak.

Pada prakteknya, proses penyelesaian sengketa melalui konsiliasi mempunyai kemiripan dengan mediasi. Pembedaan yang dapat diketahui dari kedua cara ini adalah konsiliasi memiliki hukum acara yang lebih formal jika dibandingkan dengan mediasi. Karena dalam konsiliasi ada beberapa tahap yang biasanya harus dilalui, yaitu penyerahan sengketa kepada komisi konsiliasi, kemudian komisi akan mendengarkan keterangan lisan para pihak, dan berdasarkan fakta-fakta yang diberikan oleh para pihak secara lisan tersebut komisi konsiliasi akan menyerahkan laporan kepada para pihak disertai dengan kesimpulan dan usulan penyelesaian sengketa.

e) Good Offices atau Jasa-jasa Baik
Jasa-jasa baik adalah cara penyelesaian sengketa melalui bantuan pihak ketiga. Pihak ketiga berupaya agar para pihak yang bersengketa menyelesaikan sengketanya dengan negosiasi. Menurut pendapat Bindschedler, yang dikutip oleh Huala Adolf, jasa baik dapat didefinisikan sebagai berikut: the involvement of one or more States or an international organization in a dispute between states with the aim of settling it or contributing to its settlement.

Pada pelaksanaan di lapangan, jasa baik dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu jasa baik teknis (technical good offices), dan jasa baik politis (political good offices). Jasa baik teknis adalah jasa baik oleh negara atau organisasi internasional dengan cara mengundang para pihak yang bersengketa ikut serta dalam konferensi atau menyelenggarakan konferensi. Tujuan dari jasa baik teknis ini adalah mengembalikan atau memelihara hubungan atau kontak langsung di antara para pihak yang bersengketa setelah hubungan diplomatik mereka terputus. Sedangkan jasa baik politis adalah jasa baik yang dilakukan oleh negara atau organisasi internasional yang berupaya menciptakan suatu perdamaian atau menghentikan suatu peperangan yang diikuti dengan diadakannya negosiasi atau suatu kompetensi.

IV. Penyelesaian Sengketa Secara Hukum
Penyelesaian sengketa melalui jalur hukum atau judicial settlement juga dapat menjadi pilihan bagi subyek hukum internasional yang bersengketa satu sama lain. Bagi sebagian pihak, bersengketa melalui jalur hukum seringkali menimbulkan kesulitan, baik dalam urusan birokrasi maupun besarnya biaya yang dikeluarkan. Namun yang menjadi keuntungan penyelesaian sengketa jalur hukum adalah kekuatan hukum yang mengikat antara masing-masing pihak yang bersengketa.

a) Arbitrase
Hukum internasional telah mengenal arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa, dan cara ini telah diterima oleh umum sebagai cara penyelesaian sengketa yang efektif dan adil. Para pihak yang ingin bersengketa dengan menggunakan metode arbitrase dapat menggunakan badan arbitrase yang telah terlembaga, atau badan arbitrase ad hoc. Meskipun dianggap sebagai penyelesaian sengketa internaisonal melalu jalur hukum, keputusan yang dihasilkan oleh badan arbitrase tidak dapat sepenuhnya dijamin akan mengikat masing-masing pihak, meskipun sifat putusan arbitrase pada prinsipnya adalah final dan mengikat.

Pada saat ini, terdapat sebuah badan arbitrase internasional yang terlembaga, yaitu Permanent Court of Arbitration (PCA). Dalam menjalankan tugasnya sebagai jalur penyelesaian sengketa, PCA menggunakan UNCITRAL Arbitration Rules 1976.

b) Pengadilan Internasional
Selain arbitrase, lembaga lain yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa internasional melalui jalur hukum adalah pengadilan internasional. Pada saat ini ada beberapa pengadilan internasional dan pengadilan internasional regional yang hadir untuk menyelesaikan berbagai macam sengketa internasional. Misalnya International Court of Justice (ICJ), International Criminal Court, International Tribunal on the Law of the Sea, European Court for Human Rights, dan lainnya.

Kehadiran pengadilan internasional sesungguhnya telah dikenal sejak eksisnya Liga Bangsa-Bangsa, yaitu melalui Permanent Court of International Justice (PCIJ). Namun seiring dengan bubarnya LBB pasca Perang Dunia II, maka tugas dari PCIJ diteruskan oleh ICJ sejalan dengan peralihan dari LBB kepada PBB.

Penyelesaian sengketa internasional melalui jalur hukum berarti adanya pengurangan kedaulatan terhadap pihak-pihak yang bersengketa. Karena tidak ada lagi keleluasaan yang dimiliki oleh para pihak, misalnya seperti memilih hakim, memilih hukum dan hukum acara yang digunakan. Tetapi dengan bersengketa di pengadilan internasional, maka para pihak akan mendapatkan putusan yang mengikat masing-masing pihak yang bersengketa.

Referensi:
http://pirhot-nababan.blogspot.com/2007/07/tinjauan-umum-penyelesaian-sengketa.html

Pengertian Sengketa

Pengertian Sengketa
Pengertian sengketa dalam kamus Bahasa Indonesia, berarti pertentangan atau konflik, Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan. Senada dengan itu Winardi mengemukakan :
Pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain.

Sedangkan menurut Ali Achmad berpendapat :
Sengketa adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi keduanya.

Dari kedua pendapat diatas maka dapat dikatakan bahwa sengketa adalah prilaku pertentangan antara dua orang atau lebih yang dapat menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberi sangsi hukum bagi salah satu diantara keduanya

Sanksi Anti Monopoli

Bagian PertamaTindakan Administratif
Pasal 47
(1) Komisi berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.
(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa:
a. penetapan pembatalan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 13, Pasal 15, dan Pasal 16; dan atau
b. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan integrasi vertikal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14; dan atau
c. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat; dan atau
d. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan; dan atau
e. penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28; dan atau
f. penetapan pembayaran ganti rugi; dan atau
g. pengenaan denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah).
Bagian KeduaPidana Pokok
Pasal 48
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 5.000.000.000,00 ( lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.
(3) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.
Bagian KetigaPidana Tambahan
Pasal 49
Dengan menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
a. pencabutan izin usaha; atau
b. larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
c. penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.

Referensi:
http://halim-livinglaw.blogspot.com/2009/02/undang-undang-anti-monopoli.html

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)

Bagian PertamaStatus
Pasal 30
(1) Untuk mengawasi pelaksanaan Undang-undang ini dibentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang selanjutnya disebut Komisi.
(2) Komisi adalah suatu lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah serta pihak lain.
(3) Komisi bertanggung jawab kepada Presiden.
Bagian KeduaKeanggotaan
Pasal 31
(1) Komisi terdiri atas seorang Ketua merangkap anggota, seorang Wakil Ketua merangkap anggota, dan sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang anggota.
(2) Anggota Komisi diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Masa jabatan anggota Komisi adalah 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
(4) Apabila karena berakhirnya masa jabatan akan terjadi kekosongan dalam keanggotaan Komisi, maka masa jabatan anggota dapat diperpanjang sampai pengangkatan anggota baru.
Pasal 32
Persyaratan keanggotaan Komisi adalah:
1. warga negara Republik Indonesia, berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun dan setinggi-tingginya 60 (enam puluh) tahun pada saat pengangkatan;
2. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
3. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
4. jujur, adil, dan berkelakuan baik;
5. bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia;
6. berpengalaman dalam bidang usaha atau mempunyai pengetahuan dan keahlian di bidang hukum dan atau ekonomi;
7. tidak pernah dipidana;
8. tidak pernah dinyatakan pailit oleh pengadilan; dan
9. tidak terafiliasi dengan suatu badan usaha.
Psaal 33
Keanggotaan Komisi berhenti, karena :
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri atas permintaan sendiri;
c. bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia;
d. sakit jasmani atau rohani terus menerus;
e. berakhirnya masa jabatan keanggotaan Komisi; atau
f. diberhentikan.
Pasal 34
(1) Pembentukan Komisi serta susunan organisasi, tugas, dan fungsinya ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(2) Untuk kelancaran pelaksanaan tugas, Komisi dibantu oleh sekretariat.
(3) Komisi dapat membentuk kelompok kerja.
(4) Ketentuan mengenai susunan organisasi, tugas, dan fungsi sekretariat dan kelompok kerja diatur lebih lanjut dengan keputusan Komisi.
Bagian KetigaTugas
Pasal 35
Tugas Komisi meliputi:
a. melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16;
b. melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 24;
c. melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 28;
d. mengambil tindakan sesuai dengan wewenang Komisi sebagaimana diatur dalam Pasal 36;
e. memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
f. menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan Undang-undang ini;
g. memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Bagian KeempatWewenang
Pasal 36
Wewenang Komisi meliputi:
1. menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
2. melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
3. melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud huruf e dan huruf f, yang tidak bersedia memenuhi panggilan Komisi;
4. meminta keterangan dari instansi Pemerintah dalam kaitannya dengan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini;
5. mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan atau pemeriksaan;
6. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku usaha lain atau masyarakat;
7. memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
8. menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.
Bagian KelimaPembiayaan
Pasal 37
Biaya untuk pelaksanaan tugas Komisi dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan atau sumber-sumber lain yang diperbolehkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Hal-Hal yang Dikecualikan dalam UU Anti Monopoli

Pasal 50
Yang dikecualikan dari ketentuan undang-undang ini adalah:
a. perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku; atau
b. perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba; atau
c. perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak mengekang dan atau menghalangi persaingan; atau
d. perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan; atau
e. perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas; atau
f. perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia; atau
g. perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri; atau
h. pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil; atau
i. kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggotanya.

Pasal 51
Monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah.

Kegiatan dan Perjanjian yang Dilarang dalam Anti Monopoli

a. Kegiatan yang Dilarang
Bagian Pertama Monopoli
Pasal 17
(1) Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila:
a. barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau
b. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama; atau
c. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Bagian KeduaMonopsoni
Pasal 18
(1) Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Bagian KetigaPenguasaan Pasar
Pasal 19
Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa:
a. menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan;
b. atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 21
Pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Bagian KeempatPersekongkolan
Pasal 22
Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 23
Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 24
Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi berkurang baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan.


b. Perjanjian yang dilarang oleh BAB III Undang-undang Anti Monopoli adalah sebagai berikut :

1. Perjanjian –perjanjian tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar yang terdiri dari :

a) Oligopoli;

b) Penetapan harga;

c) Pembagian Wilayah;

d) Pemboikotan;

e) Kartel;

f) Trust;

g) Integrasi vertical;

h) Perjanjian tertutup;

i) Perjanjian dengan pihak luar negeri.

Azas & Tujuan Anti Monopoli dan Persaingan Usaha

a. Asas
Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.

b. Tujuan
Undang-Undang (UU) persaingan usaha adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No.5/1999) yang bertujuan untuk memelihara pasar kompetitif dari pengaruh kesepakatan dan konspirasi yang cenderung mengurangi dan atau menghilangkan persaingan. Kepedulian utama dari UU persaingan usaha adalah promoting competition dan memperkuat kedaulatan konsumen.

Pengertian Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Ada beberapa pengertian monopoli yang diartikan beberapa

Kalangan; Black’s Law Dictionary mengartikan monopoli sebagai “a peveilege or peculiar advantage vested in one or more persons or companies, consisting in the exclusive right ( or power ) to carry on a particular article, or control yhe sale of whole supply of a particular commodity ” . (Henry Champbell Black,1990 : 696)

Secara etimologi, kata “monopoli” berasal dari kata Yunani ‘Monos’ yang berarti sendiri dan ‘Polein’ yang berarti penjual. Dari akar kata tersebut secara sederhana orang lantas memberi pengertian monoopli sebagai suatu kondisi dimana hanya ada satu penjual yang menawarkan (supply) suatu barang atau jasa tertentu. (Arie Siswanto:2002)

Disamping istilah monopoli di USA sering digunakan kata “antitrust” untuk pengertian yang sepadan dengan istilah “anti monopoli” atau istilah “dominasi” yang dipakai masyarakat Eropa yang artinya juga sepadan dengan arti istlah “monopoli” Disamping itu terdapat istilah yang artinya hampir sama yaitu “kekuatan pasar”. Dalam praktek keempat kata tersebut, yaitu istilah “monopoli”, “antitrust”, “kekuatan pasar” dan istilah “dominasi” saling dipertukarkan pemakaiannya. Keempat istilah tersebut dipergunakan untuk menunjukkan suatu keadaan dimana seseorang menguasai pasar ,dimana dipasar tersebut tidak tersedia lagi produk subtitusi yang potensial, dan terdapatnya kemampuan pelaku pasar tersebut untuk menerapkan harga produk tersebut yang lebih tinggi, tanpa mengikuti hukum persaingan pasar atau hukum tentang permintaan dan penawaran pasar.

Undang-Undang Anti Monopoli No 5 Tahun 1999 memberi arti kepada monopolis sebagai suatu penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha (pasal 1 ayat (1) Undang-undagn Anti Monopoli ). Sementara yang dimaksud dengan “praktek monopoli” adalah suatu pemusatan kekuatan ekonomi oleh salah satu atau lebih pelaku yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan suatu persaingan usaha secara tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Sesuai dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Anti Monopoli .

Selain itu, Undang-Undang Anti monopoli juga memberikan arti kepada “persaingan usaha tidak sehat” sebagai suatu persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa yang dilakukan dengan cara-cara yang tidak jujur atau dengan cara melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.

Dengan demikian Undang-undang Anti Monopoli No 5 tahun 1999 dalam memberikan arti kepada posisi dominan atau perbuatan anti persaingan lainnya mencakup baik kompetisi yang interbrand, maupun kompetisi yang intraband. Yang dimaksud dengan kompetisi yang interbrand adalah kompetisi diantara produsen produk yang generiknya sama. Dilarang misalnya jika satu perusahaan menguasai 100 persen pasar televisi, atau yang disebut dengan istilah “monopoli”. Sedangkan yang dimaksud dengan kompetisi yang intraband adalah kompetisi diantar distributor atas produk dari produsen tertentu. (Munir Fuady 2003: 6)

Disamping itu, ada juga yang mengartikan kepada tindakan monopoli sebagai suatu keistimewaan atau keuntungan khusus yang diberikan kepada seseorang atau beberapa orang atau perusahaan, yang merupakan hak atau kekuasaan yang eksklusif untuk menjalankan bisnis atau mengontrol penjualan terhadap seluruh suplai barang tertentu .

Dalam hukum Inggris kuno, monopoli diartikan sebagai suatu izin atau keistimewaan yang dibenarkan oleh raja untuk membeli, menjual, membuat. Mengerjakan atau menggunakan apapun secara keseluruhan, dimana tindakan monopoli tersebut secara umum dapat mengekang kebebasan berproduksi atau trading. Atau monopoli dirumuskan juga sebagai suatu tindakan yang memiliki atau mengontrol bagian besar dari suplai di pasar atau output dari komoditi tertentu yang dapat mengekang kompetisi, membatasi kebebasan perdagangan, yang memberikan kepada pemonopoli kekuasaan pengontrolan terhadap harga.

Ada lagi yang mengartikan kepada tindakan monopoli (yang umum )sebagai suatu hak atau kekuasaan hanya untuk melakukan suatu kegiatan atau aktivitas yang khusus, seperti membuat suatu produk tertentu, memberikan suatu jasa, dan sebagainya. Atau, suatu monopoli (dalam dunia usaha) diartikan sebagi pemilikan atau pengendalian persediaan atau pasaran untuk suatu produk atau jasa yang cukup banyak untuk mematahkan atau memusnahkan persaingan, untuk mengendalikan harga, atau dengan cara lain untuk membatasi perdagangan

Struktur monopoli sering pula dibedakan atas monopoli alamiah dan non alamiah. Monopoli alamiah antara lain dalam memproduksi air minum, gas, listrik dan lainnya sedangkan monopoli non alamiah yang merupakan monopoli berasal dari struktur oligopoli yang kolusif sehingga mendapatkan tempat yang kurang baik , akan tetapi bukan berarti yang alamih juga dapat melepaskan diri dari citra yang kurang baik di pihak lain. (Nurimansyah Hasibuan .1993)

Praktek-praktek monopoli di Indonesia sering tidak mendapatkan tempat perhatian dalam dunia penelitian. Namun demikian, oleh karena fasilitas-fasilitas tertentu dari pemerintah, maka kehadiran monopolis dapat memperkuat transfer pendapatan dari yang relatif lemah ke kelompok yang relatif lebih kuat, maka kehadiran monopolis dapat memperkuat transfer pendapatan akan tetapi walaupun monopolis mendapatkan keuntungan yang super normal namun kurang diimbangi dengan pembayaran pajak yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas.(Nurimansyah Hasibuan .1993)

Referensi:
http://click-gtg.blogspot.com/2008/08/anti-monopoli-dan-persaingan-usaha.html

Sabtu, 12 Maret 2011

Sanksi

Sanksi Perdata :
* Ganti rugi dalam bentuk :
o Pengembalian uang atau
o Penggantian barang atau
o Perawatan kesehatan, dan/atau
o Pemberian santunan

* Ganti rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi


Sanksi Administrasi : maksimal Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui BPSK jika melanggar Pasal 19 ayat (2) dan (3), 20, 25


Sanksi Pidana :
* Kurungan :
o Penjara, 5 tahun, atau denda Rp. 2.000.000.000 (dua milyar rupiah) (Pasal 8, 9, 10, 13 ayat (2), 15, 17 ayat (1) huruf a, b, c, dan e dan Pasal 18
o Penjara, 2 tahun, atau denda Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) (Pasal 11, 12, 13 ayat (1), 14, 16 dan 17 ayat (1) huruf d dan f

* Ketentuan pidana lain (di luar Undang-undang No. 8 Tahun. 1999 tentang Perlindungan Konsumen) jika konsumen luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian

* Hukuman tambahan , antara lain :
o Pengumuman keputusan Hakim
o Pencabuttan izin usaha;
o Dilarang memperdagangkan barang dan jasa ;
o Wajib menarik dari peredaran barang dan jasa;
o Hasil Pengawasan disebarluaskan kepada masyarakat .

Ref: http://pkditjenpdn.depdag.go.id/index.php?page=sanksi

Tanggung Jawab Pelaku Usaha

Hukum tentang tanggung jawab produk ini termasuk dalam perbuatan melanggar hukum tetapi diimbuhi dengan tanggung jawab mutlak (strict liability), tanpa melihat apakah ada unsur kesalahan pada pihak pelaku. Dalam kondisi demikian terlihat bahwa adagium caveat emptor (konsumen bertanggung jawab telah ditinggalkan) dan kini berlaku caveat venditor (pelaku usaha bertanggung jawab).

Istilah Product Liability (Tanggung Jawab Produk) baru dikenal sekitar 60 tahun yang lalu dalam dunia perasuransian di Amerika Serikat, sehubungan dengan dimulainya produksi bahan makanan secara besar-besaran. Baik kalangan produsen (Producer and manufacture) maupun penjual (seller, distributor) mengasuransikan barang-barangnya terhadap kemungkinan adanya resiko akibat produk-produk yang cacat atau menimbulkan kerugian tehadap konsumen.

Produk secara umum diartikan sebagai barang yang secara nyata dapat dilihat, dipegang (tangible goods), baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Namun dalam kaitan dengan masalah tanggung jawab produser (Product Liability) produk bukan hanya berupa tangible goods tapi juga termasuk yang bersifat intangible seperti listrik, produk alami (mis. Makanan binatang piaraan dengan jenis binatang lain), tulisan (mis. Peta penerbangan yang diproduksi secara masal), atau perlengkapan tetap pada rumah real estate (mis. Rumah).[1] Selanjutnya, termasuk dalam pengertian produk tersebut tidak semata-mata suatu produk yang sudah jadi secara keseluruhan, tapi juga termasuk komponen suku cadang.

Tanggung jawab produk (product liability), menurut Hursh bahwa product liability is the liability of manufacturer, processor or non-manufacturing seller for injury to the person or property of a buyer third party, caused by product which has been sold. Perkins Coie juga menyatakan Product Liability: The liability of the manufacturer or others in the chain of distribution of a product to a person injured by the use of product.[2]

Dengan demikian, yang dimaksud dengan product liability adalah suatu tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk (producer, manufacture) atau dari orang atau badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu produk (processor, assembler) atau orang atau badan yang menjual atau mendistribusikan produk tersebut.

Bahkan dilihat dari konvensi tentang product liability di atas, berlakunya konvensi tersebut diperluas terhadap orang/badan yang terlibat dalam rangkaian komersial tentang persiapan atau penyebaran dari produk, termasuk para pengusaha, bengkel dan pergudangan. Demikian juga dengan para agen dan pekerja dari badan-badan usaha di atas. Tanggung jawab tersebut sehubungan dengan produk yang cacat sehingga menyebabkan atau turut menyebabkan kerugian bagi pihak lain (konsumen), baik kerugian badaniah, kematian maupun harta benda.

Seperti di kemukakan di atas, bahwa jika dilihat secara sepintas, kelihatan bahwa apa yang di atur dengan ketentuan product liability telah diatur pula dalam KUHPerdata. Hanya saja jika kita menggunakan KUHPerdata, maka bila seorang konsumen menderita kerugian ingin menuntut pihak produsen (termasuk pedagang, grosir, distributor dan agen), maka pihak korban tersebut akan menghadapi beberapa kendala yang akan menyulitkannya untuk memperoleh ganti rugi.

Kesulitan tersebut adalah pihak konsumen harus membuktikan ada unsur kesalahan yang dilakukan oleh pihak produsen. Jika konsumen tidak berhasil membuktikan kesalahan produsen, maka gugatan konsumen akan gagal. Oleh karena berbagai kesulitan yang dihadapi oleh konsumen tersebut, maka sejak tahun 1960-an, di Amerika Serikat di berlakukan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability principle).

Dengan diterapkannya prinsip tanggung jawab mutlak ini, maka setiap konsumen yang merasa dirugikan akibat produk atau barang yang cacat atau tidak aman dapat menuntut kompensasi tanpa harus mempermasalahkan ada atau tidak adanya unsur kesalahan di pihak produsen.

Alasan-alasan mengapa prinsip tanggung jawab mutlak (strtict liability) diterapkan dalam hukum tentang product liability adalah:[3]

a. Di antara korban/konsumen di satu pihak dan produsen di lain pihak, beban kerugian (resiko) seharusnya ditanggung oleh pihak yang memproduksi/mengeluarkan barang-barang cacat/berbahaya tersebut di pasaran;

b. Dengan menempatkan/mengedarkan barang-barang di pasaran, berarti produsen menjamin bahwa barang-barang tersebut aman dan pantas untuk dipergunakan, dan bilamana terbukti tidak demikian, dia harus bertanggung jawab;

c. Sebenarnya tanpa menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak-pun produsen yang melakukan kesalahan tersebut dapat dituntut melalui proses penuntutan beruntun, yaitu konsumen kepada pedagang eceran, pengecer kepada grosir, grosir kepada distributor, distributor kepada agen, dan agen kepada produsen. Penerapan strict liability dimaksudkan untuk menghilangkan proses yang panjang ini.

Dengan demikian apapun alasannya, pelaku usaha harus bertanggung jawab apabila ternyata produk yang dihasilkannya cacat atau berbahaya. Informasi akurat dan lengkap merupakan hak konsumen. Apabila kewajiban ini tidak dipenuhi, maka sudah semestinya pelaku usaha dimintai pertanggungjwaban.

UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
BAB VI
TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA


Pasal 19

(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan

(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi

(4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen

Pasal 20

Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut

Pasal 21

(1) Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimpor apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri

(2) Importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing apabila penyediaan jasa asing tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa asing

Pasal 22

Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian

Pasal 23

Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen

Pasal 24

(1) Pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila

a. pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apa pun atas barang dan/atau jasa tersebut

b.pelaku usaha lain, didalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi

(2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut

Pasal 25

(1) Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun wajib menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan

(2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut

a. tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas perbaikan

b. tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan.

Pasal 26

Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan.

Pasal 27

Pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dan tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila

a. barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan

b. cacat barang timbul pada kemudian hari

c. cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;

d. kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen

e. lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu yang diperjanjikan

Pasal 28

Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.

REFERENSI:
http://www.blogster.com/khaerulhtanjung/pelaku-usaha-dan-tanggung
http://www.asiatour.com/lawarchives/indonesia/konsumen/asiamaya_uu_perlindungan_konsumen_babVI.htm

Klausula Baku dalam Perjanjian

Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan / atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.

Klausula Baku aturan sepihak yang dicantumkan dalam kwitansi, faktur / bon, perjanjian atau dokumen lainnya dalam transaksi jual beli yang sangat merugikan konsumen.

Dengan pencantuman Klausula Baku posisi konsumen sangat lemah / tidak seimbang dalam menghadapi pelaku usaha.

Undang-Undang Perlindungan Konsumen menetapkan bahwa Klausula Baku yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian dilarang bagi pelaku usaha, apabila dalam pencantumannya mengadung unsur-unsur atau pernyataan sebagai berikut :

1. Pengalihan tanggungjawab dari pelaku usaha kepada konsumen;

2. Pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;

3. Pelaku usaha berhak menolak penyerahan uang yang dibayarkan atas barang atau jasa yang dibeli oleh konsumen;

4. Pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli secara angsuran;

5. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli konsumen;

6. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;

7. Tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan atau lanjutan dan / atau pengubahan lanjutan yang dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;

8. Konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

Contoh Klusula Baku yang dilarang Undang-Undang Perlindungan Konsumen antara lain sebagai berikut :

* Formulir pembayaran tagihan bank dalam salah satu syarat yang harus dipenuhi atau disetujui oleh nasabahnya menyatakan bahwa “ Bank tidak bertanggung jawab atas kelalaian atau kealpaan, tindakan atau keteledoran dari Bank sendiri atau pegawainya atau koresponden, sub agen lainnya, atau pegawai mereka ;

* Kwitansi atau / faktur pembelian barang, yang menyatakan :
o "Barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan" ;
o "Barang tidak diambil dalam waktu 2 minggu dalam nota penjualan kami batalkan" ;

BATAL DEMI HUKUM

* Setiap transaksi jual beli barang dan atau jasa yang mencantumkan Klausula Baku yang tidak memenuhi ketentuan yang berlaku;

* Konsumen dapat menggugat pelaku usaha yang mencantumkan Klausula Baku yang dilarang dan pelaku usaha tersebut dapat dijatuhi sanksi pidana denda atau pidana penjara;

* Pencantuman Klusula Baku yang benar adalah yang tidak mengandung 8 unsur atau pernyataan yang dilarang dalam Undang-Undang, bentuk dan pencantumannya mudah terlihat dan dipahami;

Hak & Kewajiban Pelaku Usaha

Seperti halnya konsumen, pelaku usaha juga memiliki hak dan kewajiban. Hak pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPK adalah:
1. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
2. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
3. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
4. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
5. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.


Sedangkan kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7 UUPK adalah:
1. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
2. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
3. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
4. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
5. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
6. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
7. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Hak & Kewajiban Konsumen

Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, Hak-hak Konsumen adalah :

1. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi/penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.


Kewajiban Konsumen

Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, Kewajiban Konsumen adalah :
1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;

2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;

3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Kegiatan yang Dilarang

1. Kegiatan produksi dan / atau perdagangan barang dan atau jasa (Pasal 8 ayat 1). Sejumlah pelaku usaha memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundangundangan;
b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut
e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
g. Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
h. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label;
i. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/ dibuat;
j. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku.
Selain itu, masih ada pelaku usaha yang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud (ayat 2) dan memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar (ayat 3).

2. Kegiatan penawaran, promosi, dan periklanan barang dan atau jasa. Sejumlah pelaku usaha masih menawarkan, memproduksi, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah (Pasal 9 ayat 1):
a. Barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;
b. Barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;
c. Barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciriciri kerja atau aksesori tertentu;
d. Barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi;
e. Barang dan/atau jasa tersebut tersedia;
f. Barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;
g. Barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu;
h. Barang tersebut berasal dari daerah tertentu;
i. Secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain;
j. Menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tampak keterangan yang lengkap;
k. Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.

Penyimpangan lain yang sangat mungkin terjadi adalah pelaku usaha menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai (pasal 10):
a. Harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;
b. Kegunaan suatu barang dan/atau jasa;
c. Kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;
d.Tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;
e. Bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.

Selain itu, bentuk pelanggaran lain adalah menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, padahal sebenarnya pelaku usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakannya sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan (pasal 12).
Yang juga banyak terjadi adalah pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain secara cumacuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikannya (pasal 13 ayat 1) dan menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain (pasal 13 ayat 2).
Juga, meski sudah dilarang oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen, sejumlah pelaku usaha menawarkan barang dan/atau jasa dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen (pasal 15).
Beriklan adalah salah satu kegiatan yang cukup banyak mengandung pelanggaran karena sejumlah pelaku usaha memproduksi iklan yang (pasal 17):
a. Mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa;
b. Mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa;
c. Memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/ata jasa;
d. Tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa;
e. Mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan;
f. Melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundangundangan mengenai periklanan.


3. Kegiatan transaksi penjualan barang dan / atau jasa. Pelanggaran dalam transaksi ini berarti melanggar Pasal 11, Pasal 14, serta Pasal 18 ayat (1), (2), dan (4) UUPK;
Dalam penjualan obral atau lelang sejumlah pelaku usaha berusaha mengelabui/ menyesatkan konsumen dengan;
a. Menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar mutu tertentu;
b. Menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat tersembunyi;
c. Tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud untuk menjual barang lain;
d. Tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah yang cukup dengan maksud menjual barang yang lain;
e. Tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan maksud menjual jasa yang lain;
f. Menaikkan harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan obral.
Pelanggaran yang sangat mungkin terjadi dalam penawaran barang dan/atau jasa adalah bahwa pelaku usaha:
a. Tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan;
b. Mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa;
c. Memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan;
d. Mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.
Dalam dunia perbankan dan pembiayaan banyak sekali kita jumpai penggunaan perjanjian baku yang sudah disiapkan pelaku usaha sedemikian rupa sehingga (kadang-kadang) lebih banyak mengatur kewajiban konsumen dan hak pelaku usaha secara tidak seimbang. Perjanjian baku juga banyak kita jumpai berupa ’peringatan’ sepihak dari pengelola parkir: ”Barang hilang atau rusak ditanggung sendiri”, atau dari supermarket: ”Barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar kembali”. Contoh penggunaan klausula baku yang merugikan (dan dilarang oleh undang-undang) adalah (pasa 18 ayat 1):
a. Pelaku usaha menolak tanggung jawab;
b. Pelaku usaha menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
c. Pelaku usaha menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d. Pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. Pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau
g. Mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
h. Konsumen harus tunduk kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
i. Konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

Ironisnya, meski sudah dilarang, masih banyak pelaku usaha yang menggunakan klausula baku dengan isi yang sifatnya eksoneratif atau penolakan bertanggungjawab. Bertambah pelik permasalahannya karena letak dan bentuk klausula baku sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau menggunakan ungkapan yang sulit imengerti (ayat 2).

Kegiatan pascatransaksi penjualan barang dan atau jasa yang menyimpang dari Pasal 28 UUUPK yaitu dimana pelaku usaha mengingkari kewajiban pembuktian atas ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 Undang-Undang Perlindungan Konsumen

supriyono.suroso@yahoo.com

Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen

Azas Perlindungan Konsumen

1. Asas Manfaat; mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan,

2. Asas Keadilan; partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil,

3. Asas Keseimbangan; memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual,

4. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen; memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalarn penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan;

5. Asas Kepastian Hukum; baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.


Sesuai dengan pasal 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen, tujuan dari Perlindungan Konsumen adalah
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri,

2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa,

3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen,

4.Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi,

5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha,

6.Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.

Referensi:
http://pkditjenpdn.depdag.go.id/index.php?page=konsumen

Pengertian Perlindungan Konsumen

Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen

Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan

--Pasal 1 ayat 1 Undang-undang Perlindungan Konsumen

Dasar Hukum Perlindungan Konsumen

Tujuan Perlindungan Konsumen

Azas Perlindungan Konsumen

Hak-hak Konsumen

Kewajiban Konsumen

Konsumen Mandiri

6 Waspada Konsumen

Rahasia Dagang

A. Pendahuluan

Rahasia Dagang dikenal juga dengan sebutan Undisclosed Information (WTO/TRIPs) atau Confidential Information (Inggris), atau Trade Secret (Amerika), dan Indonesia menyebutnya Rahasia Dagang, yang merupakan alih bahasa dari Trade Secret. Adanya penamaan yang berbeda ini tidak membedakan pemahaman yang terkandung di dalamnya. Khusus Indonesia penerapannya hanya diberlakukan pada informasi bisnis. Tidak untuk misalnya perselingkuhan selebritis.

Rahasia dagang sebagai bagian dari sistem Hak Kekayaan Intelektual patut diberi perlindungan sebagaimana obyek HKI lainnya. Perlindungan rahasia dagang diatur dalam Undang-Undang No. 30 tahun 2000 tentang Rahasia Dagang. Rahasia Dagang berkembang mengikuti industrialisasi dan budaya yang bersifat kompetitif dan individualistik. Rahasia dagang pada masyarakat barat dianggap sebagai ”private rights” karena rahasia yang dihasilkan dari intelektualitas manusia yang telah berkorban mengunakan pikiran, tenaga, dan biaya yang tinggi. Sebaliknya budaya timur menganggap rahasia dagang sebagai ”public rights” yang merupakan milik bersama. Perbedaan ini tidak mendukung perlindungan terhadap rahasia dagang pada umumnya.

Konsepsi rahasia dagang sudah dikenal oleh bangsa Cina sekitar 3000 tahun sebelum masehi. Hal ini dapat diketahui dari legenda bangsa Cina yang memberi gelar Putri Hsi-Ling-Shih, isteri kaisar kuning sebagai Dewi Sutra. Pada setiap awal musim semi Putri memimpin upacara pembuatan sutra. Kerahasiaan teknik dan proses pembuatan sutra dijaga ketat oleh kerajaan. Barangsiapa membuka rahasia itu atau menyelundupkan kepompong atau telur ulat sutra ke luar Cina akan dihukum mati. Mereka menjaga rahasia itu selama lebih dari 2000 tahun sesudahnya.

Kasus-kasus awal mengenai rahasia dagang terjadi di Inggris sekitar abad 18, menyangkut rahasia resep obat-obatan dalam kaitannya dengan persaingan bisnis. Di Amerika pada awal abad 19 undang-undang rahasia dagang mengakomodasi rahasia-rahasia bisnis, persaingan, teknologi dan pola-pola managemen pekerjaan. Amerika mengadopsi masalah rahasia dagang atau trade secret dari common law Inggris yang menyangkut perlindungan melalui doktrin-doktrin yang dibuat oleh hakim melalui yurisprudensi dalam perkara yang menyangkut rahasia dagang.

B. Pemahaman Hukum Rahasia Dagang

1. Perkembangan Pengaturan Rahasia Dagang

Pengaturan tentang rahasia dagang di Indonesia masih baru. Dasar dari pengaturan ini adalah diratifikasinya Agreement Establishing the World Trade Organization (persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagang Dunia atau WTO) yang mencakup juga Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (Persetujuan TRIPs) dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 sehingga perlu diatur tentang rahasia dagang. Di Indonesia rahasia dagang diatur pertama kali melalui Undang-Undang No. 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang. Pada awalnya perlindungan hukum menyangkut segala bentuk praktek-praktek persaingan tidak sehat telah diatur oleh rambu-rambu dan norma-norma pada Pasal 1365 KUHPerdata dan Pasal 382 bis KUHP.



Namun kemudian menjadi masalah setelah tentang hal itu dikemas sebagai produk kekayaan intelektual. Ini berarti konsep unfair competition sebagai hukum yang bersifat umum lebih dipersempit atau difokuskan kepada hukum yang melindungi adanya praktek curang bermotif komersial. Kebuthan itu diformulasikan dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang. Secara umum dapat dikatakan bahwa undang-undang rahasia dagang ini juga melengkapi Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.





2. Konsep Perlindungan Rahasia Dagang

Rahasia Dagang merupakan masalah HKI yang pelik terutama dari segi enforcement. Konsep perlindungan hak rahasia dagang sebagaimana hak kekayaan intelektual lainnya adalah melindungi hak milik dari tindakan orang lain yang mempergunakannya tanpa hak. Sebagaimana kita ketahui bahwa rahasia dagang adalah informasi yang tidak diketahui secara umum atau diketahui secara terbatas oleh pihak-pihak tertentu tentang hal-hal yang menyangkut dagang. Informasi dagang ini perlu diproteksi kerahasiaannya karena:

a. secara moral memberikan penghargaan kepada pihak yang menemukan;

b. secara materi memberikan insentif.

Perlindungan rahasia dagang diberikan apabila suatu informasi dianggap bersifat rahasia. Rahasia artinya suatu informasi yang tidak diketahui secara umum. Informasi dianggap dijaga kerahasiaannya apabila pemilik atau para pihak yang menguasainya telah melakukan langkah - langkah yang layak dan patut. Layak dan patut adalah semua langkah yang memuat ukuran kewajaran, kelayakan dan kepatutan yang harus dilakukan. Misalnya dalam suatu perusahaan ada prosedur baku cara penyimpanan arsip-arsip yang dirahasiakan. Adanya perjanjian kerahasiaan yang ditandatangani oleh karyawan ketika awal penerimaan pegawai atau pekerja yang berkerja di lingkungan rahasia itu dioperasionalkan sehingga rahasia itu benar-benar terlindungi.



3. Definisi Rahasia Dagang

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang mendefinisikan Rahasia Dagang sebagai informasi :

a. di bidang teknologi atau bisnis;

b. tidak diketahui umum;

c. mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha,

d. dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik rahasia dagang.

Dari definisi ini dapat diketahui dua hal penting yaitu mengenai informasi yang bersifat rahasia dan tidak diketahui umum.



4. Ruang Lingkup Rahasia Dagang

a. Subyek Rahasia dagang adalah pemilik rahasia dagang. Pemilik rahasia dagang memiliki hak untuk :

1) Menggunakan sendiri Rahasia Dagang yang dimilikinya;

2) Memberi lisensi kepada pihak lain atau melarang pihak lain untuk menggunakan Rahasia Dagang atau mengungkapkan Rahasia Dagang itu kepada pihak ketiga untuk kepentingan yang bersifat komersial.

b. Obyek ruang lingkup rahasia dagang menurut undang-undang No. 30 Tahun 2000 Pasal 2 meliputi metode produksi, metode pengolahan, metode penjualan atau informasi lain di bidang tekhnologi dan/atau bisnis yang memiliki nilai ekonomi dan tidak diketahui oleh masyarakat umum. Misalnya Coca-cola menggunakan rahasia dagang yaitu informasi teknik senyawa untuk melindungi formulanya, bukan paten. Hal ini untuk menghindari adanya batas waktu. Kalau formula dilindungi hak paten maka, akan berakhir paling lama 20 tahun. Pada saat ini usia Coca Cola sudah lebih dari 100 tahun, hak ini karena formulanya dilindungi dengan rahasia dagang. Metode produksi misalnya teknologi pemrosesan anggur, formula ramuan rokok. Di bidang lain, misalnya informasi non teknik. Data mengenai pelanggan, data analisis, administasi keuangan, dll.



5. Waktu Perlindungan Rahasia Dagang

Rahasia dagang mempunyai sesuatu yang istimewa, yaitu lamanya waktu perlindungan yang diberikan oleh undang-undang ini adalah tanpa batas waktu. Namun, tanpa batas waktu ini mempunyai syarat yaitu sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 yaitu bahwa rahasia dagang dilindungi bila informasi tersebut masih bersifat rahasia, mempunyai nilai ekonomi, dan dijaga kerahasiaannya melalui upaya semestinya. Ketiga syarat yang harus dipenuhi itu dapat diuraikan sebagai berikut.

a) Bersifat rahasia apabila informasi itu hanya diketahui oleh orang-orang terbatas.

b) Informasi mempunyai nilai ekonomi apabila sifat kerahasiaan informasi tersebut dapat digunakan untuk menjalankan kegiatan usaha atau bisnis yang komersial atau mendatangkan keuntungan bagi pemiliknya.

c) dijaga kerahasiaannya apabila pemilik atau para pihak yang menguasainya telah melakukan langkah-langkah yang layak.



6. Pengalihan Hak dan Lisensi

Hak atas Rahasia Dagang seperti hak atas kekayaan intelektual yang lain, merupakan benda bergerak tidak berwujud oleh karenanya dapat beralih atau dialihkan dengan :

a. Pewarisan

b. Hibah

c. Wasiat

d. Perjanjian tertulis atau

e. Sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan

Pengalihan Hak Rahasia Dagang wajib didaftarkan pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual.

Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemegang Hak Rahasia Dagang kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pembelian hak (izin) untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu rahasia dagang yang diberi perlindungan dalam jangka waktu tertentu dan syarat tertentu. Perjanjian pemberian lisensi/izin pada pihak lain untuk mempergunakan Rahasia Dagang atau mengungkapkan Rahasia Dagang itu untuk kepentingan yang bersifat komersial harus dibuat secara tertulis dan didaftarkan/dicatatkan pada Direktorat Jenderal HKI. Perjanjian lisensi dilarang memuat ketentuan yang dapat merugikan perekonomian di Indonesia atau yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.



7. Pendaftaran Permohonan Rahasia Dagang

Hak kepemilikan rahasia dagang tidak perlu melalui prosedur pendaftaran. Kecuali pengalihan haknya.



C. Litigasi dan Penyelesaian Sengketa Rahasia Dagang

Pemilik Hak Rahasia Dagang atau penerima lisensi dapat menggugat siapa saja yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana diatur pada Pasal 4 yaitu menggunakan rahasia dagang dan atau memberi lisensi kepada orang lain, atau mengungkapkan rahasia dagang kepada pihak ketiga untuk kepentingan komersial dengan gugatan ganti rugi dan atau minta penghentian tindakan yang dilakukan sesuai Pasal 4. Gugatan ini diajukan ke Pengadilan Negeri, dengan ancaman hukuman pidana penjara maksimum 2 tahun penjara dan atau denda maksimum Rp 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah). Tindak pidana Rahasia Dagang merupakan delik aduan. **



Daftar Pustaka

Cita Citrawinda P., Budaya Hukum Indonesia Menghadapi Globalisasi: Perlindungan rahasia Dagang di Bidang Farmasi, Jakarta; Chandra Pratama, 2005.

Lindsey, et.al. , Hak Kekayaan Intelektual: Suatu Pengantar, Bandung: Alumni, 2000.

Rachmadi Usman, Hukum Atas Hak Kekayaan Intelektual, Bandung: Alumni, 2003,

Saidin, O, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995.

Desain Industri

Desain industri adalah suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan dari padanya yang berbentuk tiga atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri atau kerajinan tangan.

Pendesain adalah seseorang atau beberapa orang yang menghasilkan desain industri.

Desain industri yang mendapatkan hak perlindungan adalah; desain industri yang baru dan desain industri dianggap baru apabila pada tanggal penerimaan, serta desain industri tersebut tidak sama dengan pengungkapan yang telah ada sebelumnya.

Perlindungan terhadap hak desain industri diberikan untuk jangka waktu 10 tahun terhitung sejak tanggal penerimaan.

Hak Merek

Tanda yang berupa gambar, nama,kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa (Pasal 1 Undang-undang Merek).
Merek dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya. Sedangkan Merek jasa yaitu merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya.
Merek kolektif adalah merek yang digunakan pada barang atau jasa dengan karakteristik yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang atau jasa sejenis lainnya.

Pengaturan Merek diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 tahun 1992 tentang Merek. Untuk mempermudah penyebutannya dapat disingkat menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 atau dapat juga disingkat Undang-Undang Merek (UUM).

Pendaftaran Merek diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Kantor Merek.

Unsur-unsur yang tidak dapat didaftarkan sebagai merek menurut Pasal 5 Undang-Undang Merek yaitu :

a. Tanda yang bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.

b. Tanda yang tidak memiliki daya pembeda.

c. Tanda yang telah menjadi milik umum.

d. Tanda yang merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimintakan pendaftaran.

Hak Paten

Hak khusus yang diberikan negara kepada penemu atas hasil penemuannya di bidang teknologi, untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri penemuannya tersebut atau memberikan persetujuan kepada orang lain untuk melaksanakannya (Pasal 1 Undang-undang Paten).

Paten hanya diberikan negara kepada penemu yang telah menemukan suatu penemuan (baru) di bidang teknologi. Yang dimaksud dengan penemuan adalah kegiatan pemecahan masalah tertentu di bidang teknologi yang berupa :

a. proses;

b. hasil produksi;

c. penyempurnaan dan pengembangan proses;

d. penyempurnaan dan pengembangan hasil produksi.

Pengaturan Paten diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 tahun 1989 tentang Paten telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 tahun 1989 tentang Paten. Untuk mempermudah penyebutannya dapat disingkat menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1997 atau Undang-Undang Paten (UUP) saja.

Pemberian Paten
Penemuan diberikan Paten oleh negara apabila telah melewati suatu proses pengajuan permintaan paten pada Kantor Paten (Departemen Kehakiman Republik Indonesia di Jakarta).

Penemuan yang tidak dapat dipatenkan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Paten, yaitu :

a. Penemuan tentang proses atau hasil produksi yang pengumuman dan penggunaan atau pelaksanaannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, ketertiban umum, dan kesusilaan.

b. Penemuan tentang metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan, dan pembedahan yang diterapkan terhadap manusia dan hewan, tetapi tidak menjangkau produk apapun yang digunakan atau berkaitan dengan metode tersebut.

c. Penemuan tentang teori dan metode di bidang ilmu pengetahuan dan matematika.

Hak Cipta

Hak khusus bagi pencipta maupun penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya maupun memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 ayat 1 UUHC).
? Dikatakan hak khusus atau sering juga disebut hak eksklusif yang berarti hak tersebut hanya diberikan kepada pencipta dan tentunya tidak untuk orang lain selain pencipta.

Hak khusus meliputi :

a. hak untuk mengumumkan;

b. hak untuk memperbanyak.

Pengaturan hak cipta diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 tahun 1982 tentang Hak Cipta telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 tahun 1982 tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 tahun 1982 tentang Hak Cipta. Untuk mempermudah penyebutannya dapat disingkat menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 jo Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997.

Pendaftaran hak cipta
Pendaftaran hak cipta bukanlah merupakan persyaratan untuk memperoleh perlindungan hak cipta (pasal 5 dan pasal 38 UUHC). Artinya, seorang pencipta yang tidak mendaftarkan hak cipta juga mendapatkan perlindungan, asalkan ia benar-benar sebagai pencipta suatu ciptaan tertentu. Pendaftaran bukanlah jaminan mutlak bahwa pendaftar sebagai pencipta yang dilindungi hukum. Dengan kata lain Undang-Undang Hak Cipta melindungi pencipta, terlepas apakah ia mendaftarkan ciptaannya atau tidak.

Dasar Hukum Hak Kekayaan Intelektual (HAKI)

Pengaturan hukum terdapat hak kekayaan intelektual di Indonesia dapat ditemukan dalam :
1. Undang – undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
2. Undang – undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten.
3. Undang – undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.
4. Undang – undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Varietas Tanaman.
5. Undang – undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang.
6. Undang – undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri.
7. Undang – undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.

Klasifikasi Hak Kekayaan Intelektual (HAKI)

Ada dua golongan besar hak atas kekayaan intelektual, yakni

1. Hak cipta, yakni hak eksklusif yang diberikan negara bagi pencipta suatu karya (misal karya seni untuk mengumumkan, memperbanyak, atau memberikan izin bagi orang lain untuk memperbanyak ciptaanya tanpa mengurangi hak pencipta sendiri.

2. Hak kekayaan industri, meliputi

a. Paten, yakni hak eksklusif yang diberikan negara bagi pencipta di bidang teknologi. Hak ini memiliki jangka waktu (usia sekitar 20 tahun sejak dikeluarkan), setelah itu habis masa berlaku patennya.

b. Merk dagang, hasil karya, atau sekumpulan huruf, angka, atau gambar sebagai daya pembeda yang digunakan oleh individu atau badan hukum dari keluaran pihak lain.

c. Hak desain industri, yakni perlindungan terhadap kreasi dua atau tiga dimensi yang memiliki nilai estetis untuk suatu rancangan dan spesifikasi suatu proses industri

d. Hak desain tata letak sirkuit terpadu (integrated circuit), yakni perlindungan hak atas rancangan tata letak di dalam sirkuit terpadu, yang merupakan komponen elektronik yang diminiaturisasi

e. Rahasia dagang, yang merupakan rahasia yang dimiliki oleh suatu perusahaan atau individu dalam proses produksi

f. Varietas tanaman

Prinsip Hak Kekayaan Intelektual (HAKI)

Prinsip-prinsip yang terdapat dalam sistem HaKI untuk menyeimbangkan kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat adalah sebagai berikut :
a. Prinsip Keadilan (The Principle of Natural Justice)
Berdasarkan prinsip ini, hukum memberikan perlindungan kepada pencipta berupa suatu kekuasaan untuk bertindak dalam rangka kepentingan yang disebut hak. Pencipta yang menghasilkan suatu karya berdasarkan kemampuan intelektualnya wajar jika diakui hasil karyanya.
b. Prinsip Ekonomi (The Economic Argument)
Berdasarkan prinsip ini HaKI memiliki manfaat dan nilai ekonomi serta berguna bagi kehidupan manusia. Nilai ekonomi pada HaKI merupakan suatu bentuk kekayaan bagi pemiliknya, pencipta mendapatkan keuntungan dari kepemilikan terhadap karyanya seperti dalam bentuk pembayaran royalti terhadap pemutaran musik dan lagu hasil ciptaannya.
c. Prinsip Kebudayaan (The Cultural Argument)
Berdasarkan prinsip ini, pengakuan atas kreasi karya sastra dari hasil ciptaan manusia diharapkan mampu membangkitkan semangat dan minat untuk mendorong melahirkan ciptaan baru. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra sangat berguna bagi peningkatan taraf kehidupan, peradaban dan martabat manusia. Selain itu, HaKI juga akan memberikan keuntungan baik bagi masyarakat, bangsa maupun negara.
d. Prinsip Sosial (The Social Argument)
Berdasarkan prinsip ini, sistem HaKI memberikan perlindungan kepada pencipta tidak hanya untuk memenuhi kepentingan individu, persekutuan atau kesatuan itu saja melainkan berdasarkan keseimbangan individu dan masyarakat. Bentuk keseimbangan ini dapat dilihat pada ketentuan fungsi sosial dan lisensi wajib dalam undang-undang hak cipta Indonesia.

Pengertian Hak Kekayaan Intelektual (HAKI)

Hak Kekayaan Intelektual merupakan hak yang diberikan kepada orang-orang atas hasil dari buah pikiran mereka. Biasanya hak eksklusif tersebut diberikan atas penggunaan dari hasil buah pikiran si pencipta dalam kurun waktu tertentu. Buah pikiran tersebut dapat terwujud dalam tulisan, kreasi artistik, simbol-simbol, penamaan, citra, dan desain yang digunakan dalam kegiatan ko-mersil.

Menurut WIPO (World Intellectual Property Organization) – badan dunia di bawah naungan PBB untuk isu HKI, hak kekayaan intelektual terbagi atas 2 kategori, yaitu:

1. Hak Kekayaan Industri

Kategori ini mencakup penemu-an (paten), merek, desain indus-tri, dan indikasi geografis. Dari sumber situs WTO, masih ada hak kekayaan intelektual lainnya yang termasuk dalam kategori ini yaitu rahasia dagang dan desain tata letak sirkuit terpadu.

2. Hak Cipta

Hak Cipta merupakan istilah legal yang menjelaskan suatu hak yang diberikan pada pencipta atas karya literatur dan artistik mereka. Tujuan utamanya adalah untuk memberikan perlindungan atas hak cipta dan untuk mendukung serta memberikan penghargaan atas buah kreativitas.

Karya-karya yang dicakup oleh Hak Cipta termasuk: karya-karya literatur seperti novel, puisi, karya pertunjukan, karta-karya referensi, koran dan program komputer, data-base, film, komposisi musik, dan koreografi, sedangkan karya artistik seperti lukisan, gambar, fotografi dan ukiran, arsitektur, iklan, peta dan gambar teknis.

Kategori ini mencakup karya-karya literatur dan artistik seperti novel, puisi, karya panggung, film, musik, gambar, lukisan, fotografi dan patung, serta desain arsitektur. Hak yang berhubungan dengan hak cipta termasuk artis-artis yang beraksi dalam sebuah pertunjukan, produser fonogram dalam rekamannya, dan penyiar-penyiar di program radio dan televisi.

3. Paten

Paten merupakan hak eksklusif yang diberikan atas sebuah penemuan, dapat berupa produk atau proses secara umum, suatu cara baru untuk membuat sesuatu atau menawarkan solusi atas suatu masalah dengan teknik baru.

Paten memberikan perlindungan terhadap pencipta atas penemuannya. Perlindungan tersebut diberikan untuk periode yang terbatas, biasa-nya 20 tahun. Perlindungan yang dimaksud di sini adalah penemuan tersebut tidak dapat secara komersil dibuat, digunakan, disebarkan atau di jual tanpa izin dari si pencipta.

4. Merek

Merek adalah suatu tanda tertentu yang dipakai untuk mengidentifi-kasi suatu barang atau jasa sebagai-mana barang atau jasa tersebut dipro-duksi atau disediakan oleh orang atau perusahaan tertentu. Merek membantu konsumen untuk mengidentifikasi dan membeli sebuah produk atau jasa berdasarkan karakter dan kualitasnya, yang dapat teridentifikasi dari mereknya yang unik.

5. Desain Industri

Desain industri adalah aspek ornamental atau estetis pada sebuah benda. Desain tersebut dapat mengandung aspek tiga dimensi, seperti bentuk atau permukaan benda, atau aspek dua dimensi, seperti pola, garis atau warna.

Desain industri diterapkan pada berbagai jenis produk industri dan kerajinan; dari instrumen teknis dan medis, jam tangan, perhiasan, dan benda-benda mewah lainnya; dari peralatan rumah tangga dan peralatan elektronik ke kendaraan dan struktur arsitektural; dari desain tekstil hinga barang-barang hiburan.

Agar terlindungi oleh hukum nasional, desain industri harus terlihat kasat mata. Hal ini berarti desain in-dustri pada prinsipnya merupakan suatu aspek estetis yang alami, dan tidak melindungi fitur teknis atas benda yang diaplikasikan.

6. Indikasi Geografis

Indikasi Geografis merupakan suatu tanda yang digunakan pada ba-rang-barang yang memiliki keaslian geografis yang spesifik dan memiliki kualitas atau reputasi berdasar tempat asalnya itu. Pada umumnya, Indikasi Geografis merupakan nama tempat dari asal barang-barang tersebut. Produk-produk pertanian biasanya memiliki kualitas yang terbentuk dari tempat produksinya dan dipengaruhi oleh faktor-faktor lokal yang spesifik, seperti iklim dan tanah. Berfung-sinya suatu tanda sebagai
indikasi geografis merupakan masalah hukum nasional dan persepsi konsumen.

7. Rahasia Dagang

Rahasia dagang dan jenis-jenis informasi rahasia lainnya yang memiliki nilai komersil harus dilindungi dari pelanggaran atau kegiatan lainnya yang membuka rahasia praktek komersial. Namun langkah-langkah yang rasional harus ditempuh sebe-lumnya untuk melindungi informasi yang bersifat rahasia tersebut. Pengujian terhadap data yang diserahkan kepada pemerintah sebagai langkah memperoleh
persetujuan untuk memasarkan produk farmasi atau perta-nian yang memiliki komposisi baru juga harus dilindungi dari kecurang-an perdagangan.

8. Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu

Sirkuit terpadu adalah suatu produk dalam bentuk jadi atau setengah jadi, yang di dalamnya terdapat ber-bagai elemen dan sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut adalah elemen aktif, yang sebagian atau seluruhnya saling berkaitan serta di-bentuk secara terpadu di dalam sebu-ah bahan semi-konduktor yang dimaksudkan untuk menghasilkan fungsi elekronik.

Desain tata letak adalah kreasi berupa rancangan peletakan tiga dimensi dari berbagai elemen, sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut adalah elemen aktif, serta sebagian atau semua interkoneksi dalam suatu sirkuit terpadu dan peletakan tiga dimensi tersebut dimaksudkan untuk persiapan pembuatan sirkuit terpadu.

B. Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Dalam Perdagangan Internasional

Pemikiran dan pengetahuan me-rupakan bagian penting dari perda-gangan sebab buah pemikiran dan pengetahuan tersebut dapat menghasilkan suatu ciptaan yang diperdagangkan. Oleh sebab itu, hak kekayaan intelektual menyentuh juga aspek industri dan perdagangan. Sebagian besar dari nilai yang dikandung oleh jenis obat-obatan baru dan produk-produk berteknologi tinggi berada pada banyaknya penemuan, inovasi, riset, desain dan pengetesan yang dilakukan. Film-film, rekaman musik, buku-buku dan piranti lunak komputer serta jasa online dibeli dan dijual karena informasi dan krea-tivitas yang terkandung, biasanya bukan karena plastik, metal atau kertas yang digunakan untuk membuatnya. Produk-produk yang semula diperda-gangkan sebagai barang-barang berteknologi rendah kini mengandung nilai penemuan dan desain yang lebih tinggi sehingga meningkatkan nilai jual produk-produk tersebut.

Dalam hal penciptaan atas produk-produk tersebut, pencipta dapat diberikan hak untuk mencegah pihak lain memakai penemuan mereka, desain atau karya lainnya dan pencipta dapat menggunakan hak tersebut un-tuk menegosiasikan pembayaran sebagai ganti atas penggunaan hasil ciptaannya itu oleh pihak lain. Inilah yang dimaksud dengan ”hak kekaya-an intelektual”. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kekayaan in-telektual ini bentuknya bisa beragam, seperti buku-buku, lukisan dan film-film di bawah hak cipta; penemuan dapat dipatenkan; merek dan logo produk dapat didaftarkan sebagai merek; dan sebagainya.

Dalam perkembangannya, perlindungan serta penerapan atas hak kekayaan intelektual ini bervariasi di seluruh dunia. Sebagaimana kesadaran akan pentingnya HKI dalam perdagangan semakin tinggi, maka perbedaan-perbedaan antar berbagai pi-hak di dunia menjadi sumber perde-batan dalam hubungan ekonomi internasional. Adanya suatu peraturan perdagangan internasional yang dise-pakati atas HKI dipandang sebagai cara untuk menertibkan dan menjaga konsistensi serta mengupayakan agar perselisihan dapat diselesaikan secara lebih sistematis.

Menyadari HKI sebagai faktor penting dalam perdagangan interna-sional, maka dalam kerangka sistem perdagangan multilateral, kesepakat-an mengenai HKI (Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights/TRIPS) dinegosiasi-kan untuk pertama kalinya dalam pe-rundingan WTO, yaitu Uruguay Round pada tahun 1986-1994.

Uruguay Round berhasil membu-ahkan kesepakatan TRIPS Agreement sebagai suatu jalan untuk memper-sempit perbedaan yang ada atas perlindungan HKI di dunia dan menaunginya dalam sebuah peraturan internasional. TRIPS Agreement menetapkan tingkat minimum atas perlindungan HKI yang dapat dijaminkan terhadap seluruh anggota WTO. Hal yang penting adalah ketika ter-jadi perselisihan perdagangan yang terkait dengan HKI, maka sistem penyelesaian persengketaan WTO kini tersedia.

Kesepakatan TRIPS ini meliputi 5 (lima) hal, yaitu:

1. Penerapan prinsip-prinsip dasar atas sistem perdagangan dan hak kekayaan intelektual

2. Perlindungan yang layak atas hak kekayaan intelektual

3. Bagaimana negara-negara harus menegakkan hak kekayaan inte-lektual sebaik-baiknya dalam wilayahnya sendiri

4. Penyelesaian perselisihan atas hak kekayaan intelektual antara negara-negara anggota WTO

5. Kesepakatan atas transisi khusus selama periode saat suatu sistem baru diperkenalkan

Perjanjian TRIPS yang berlaku sejak 1 Januari 1995 ini merupakan perjanjian multilateral yang paling komprehensif mengenai HKI. TRIPS ini sebetulnya merupakan perjanjian dengan standar minimum yang memungkinkan negara anggota WTO untuk menyediakan perlindungan yang lebih luas terhadap HKI. Negara-negara Anggota dibebaskan un-tuk menentukan metode yang paling memungkinkan untuk menjalankan ketetapan TRIPS ke dalam suatu sistem legal di negaranya.

Salah satu isu dalam HKI yang menarik untuk dibahas adalah pemalsuan. Pemalsuan merupakan masalah yang sedang berkembang yang men-ciptakan ketegangan dalam hubungan ekonomi internasional. Oleh karena itu, perjanjian TRIPS juga mencakup penerapan prinsip-prinsip dasar GATT dan perjanjian-perjanjian internasional yang relevan dengan masalah HKI, termasuk pemalsuan.

Perjanjian TRIPS mengharuskan Anggota WTO untuk melakukan notifikasi kepada Dewan TRIPS. Notifikasi ini merupakan fasilitasi bagi Dewan TRIPS untuk memonitor implementasi Perjanjian dan wadah yang mendukung transparansi negara anggota menyangkut kebijakan atas perlindungan HKI. Selain itu, negara anggota yang akan memanfaatkan beberapa ketentuan yang tercakup dalam Perjanjian dan berhubungan dengan kewajiban harus memberikan notifikasi kepada Konsul. Konsul telah menetapkan prosedur dan arahan mengenai notifikasi. Sebagai tambahan, negara anggota juga telah setuju untuk melakukan notifikasi atas hal-hal yang belum diatur dalam Perjanjian.